MR-Jakarta,– Beragam komentar dan pendapat di berbagai grup aplikasi Whatsapp memenuhi kolom komentar di grup WA wartawan se Indonesia terkait pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi yang diselenggarakan LSP Pers Indonesia di Jakarta baru-baru ini.
Ketua Dewan Pers Indonesia, Heintje Mandagie menjelaskan, menengok sejarah ke belakang, Indonesia pernah melewati sejarah kelam kemerdekaan pers. Dewan Pers dan terutama Departemen Penerangan RI yang dianggap membelenggu kemerdekaan pers di era Orde Baru akhirnya tumbang dan dibubarkan.
“Tidak ada lagi Depen RI dan Dewan Pers menyusul Undang-Undang pokok Pers era Orde Baru dinyatakan tidak berlaku,” ulasHeintje Mandagie, Selasa (22/3/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Draft Undang-Undang Pers tahun 1999 kemudian dipersiapkan oleh para pejuang kemerdekaan pers bersama-sama dengan puluhan pimpinan organisasi-organisasi pers, termasuk Ketua Umum SPRI ketika itu dijabat Lexy Rumengan.
“Dalam draft asli UU Pers Tahun 1999 itu tadinya tidak ada yang mengatur tentang Dewan Pers,” kata Ketua Dewan Pers Indonesia.
Menurut pengakuan dua saksi sejarah yang masih hidup, Lexy Rumengan, yang kini berdomisili di Amerika Serikat, dan Hans Kawengian (Ketua Umum KOWAPPI) bahwa saat pembahasan draft UU Pers tersebut berlangsung, Jacob Utama selaku tokoh pers senior, mengusulkan pasal tentang Dewan Pers disisipkan di tengah-tengah Undang-Undang dengan tujuan agar ada wadah yang bisa mempersatukan seluruh organisasi pers dalam melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Usulan itu menurut Kawengian dan Rumengan, sempat mendapat penolakan dari beberapa pimpinan organisasi pers karena trauma dengan masa lalu.
“Namun karena lobi-lobi yang dilakukan Jacob Utama akhirnya berhasil membuat seluruh peserta menyetujui pasal tentang Dewan Pers dimasukan dalam UU Pers, namun tidak dicantumkan pada Ketentuan Umum Pasal 1 lalu disisip di tengah-tengah Undang-Undang yakni di pasal 15 agar tidak dominan jika ditempatkan di pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Pers,” ungkap Heintje Mandagie
Setelah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini disahkan, Dewan Pers yang kemudian terbentuk, lebih banyak diam dan tidak berfungsi.
“Organisasi-organisasi pers begitu merdeka dan dominan menjalankan aktifitas pengembangan kemerdekaan pers dan peningkatan kualitas pers nasional secara mandiri dan bertanggung-jawab,” terang Heintje Mandagie
Situasi itu kemudian berubah, ketika pada tahun 2006 Dewan Pers membujuk dan mengajak puluhan pimpinan organisasi pers untuk berkumpul dan membahas konsep tentang penguatan terhadap kelembagaan Dewan Pers melalui kegiatan Lokakarya pada tanggal 13 Agustus 2003 di Jakarta.
“Akhirnya 29 pimpinan organisasi pers membuat pernyataan dan sepakat memberi “hadiah” mandat penguatan kelembagaan terhadap Dewan Pers karena menganggap perlindungan terhadap profesinya bisa ikut terjamin dengan adanya penguatan peran Dewan Pers,” ungkap Heintje Mandagie lagi.
Sesudah itu terbitlah Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 05/SK-DP/111/2006 tentang Penguatan Peran Dewan Pers.
“Namun sayangnya penerapan atau implementasi dari penguatan kelembagaan Dewan Pers ini salah diterjemahkan oleh pengurus Dewan Pers di tahun-tahun berikutnya. Bahkan ketentuan yang disepakati justeru tidak dilaksanakan secara menyuluruh oleh Dewan Pers hingga saat ini,” beber Ketua Dewan Pers Indonesia