MATARAKYAT.info, Luwu Timur | Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Luwu Timur menyoroti proses sewa lahan kompensasi DAM Karebbe antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Timur dan PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP). DPRD menilai, proses tersebut tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan mendesak dilakukannya audit menyeluruh.
Menurut DPRD, kerjasama penyewaan lahan ini seharusnya melibatkan pertimbangan dan persetujuan dari lembaga legislatif, mengingat dampaknya yang luas, strategis, dan bersifat jangka panjang. Ketua DPRD Luwu Timur, Ober Datte, menegaskan bahwa DPRD tidak pernah dilibatkan sejak awal proses penyewaan lahan yang sebelumnya merupakan aset kompensasi dari PT Vale.
“DPRD secara kelembagaan tidak tahu menahu soal sewa lahan ini. Baru jadi perhatian setelah masyarakat mempertanyakan status aset dan nilai sewanya,” ujar Ober Datte dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Ruang Aspirasi DPRD Lutim, Kamis (30/10/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ober Datte menekankan bahwa DPRD mendukung investasi di Luwu Timur, namun tetap berpegang pada prinsip tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. “Kami tidak menolak investor. Tapi setiap kebijakan yang melibatkan aset daerah harus berlandaskan aturan yang jelas,” tegas Ober Datte
Benturan Tafsir Hukum
Rapat yang berlangsung alot tersebut memperlihatkan adanya perbedaan interpretasi hukum antara pihak eksekutif dan legislatif. Kepala Bagian Pemerintahan Lutim, Reza, menyatakan bahwa Pemkab berpedoman pada Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah dalam melakukan kerja sama dengan pihak ketiga.
“Kami mengacu pada Permendagri 19/2016. Bahkan sejak awal sudah kami sampaikan ke PT IHIP bahwa ada masyarakat yang berkebun di lahan itu, dan mereka siap memberi kompensasi,” kata Reza.
Namun, pandangan ini ditolak oleh anggota DPRD Muhammad Nur, yang menilai acuan regulasi tersebut tidak tepat. Menurutnya, sewa lahan itu termasuk dalam kategori kerja sama strategis daerah, sehingga seharusnya tunduk pada PP Nomor 28 Tahun 2018 dan Permendagri Nomor 22 Tahun 2020.
“Pasal 26 ayat 1 PP 28/2018 jelas menyebutkan, kerja sama daerah yang berdampak luas dan jangka panjang wajib mendapat persetujuan DPRD. Jadi ini bukan sekadar urusan aset, tapi kerja sama strategis yang melibatkan kepentingan publik,” tegas Muhammad Nur.
Ia menilai, dengan tidak melibatkan DPRD, Pemkab kehilangan posisi tawar dalam menentukan nilai sewa dan berpotensi merugikan keuangan daerah.
Nilai Sewa Dipertanyakan
Kritik juga datang dari anggota DPRD HM Siddiq BM, yang menyoroti nilai sewa lahan kepada PT IHIP yang hanya Rp890 juta per tahun. Menurutnya, angka tersebut tidak mencerminkan potensi ekonomi lahan yang strategis.
“Kalau appraisal menentukan batas minimal Rp226 per meter persegi per tahun, kenapa Pemda justru mengambil nilai paling rendah? Harusnya pilih yang maksimal agar PAD kita lebih besar,” kata Siddiq.
Siddiq menambahkan, keputusan sewa yang tidak melalui mekanisme pertimbangan DPRD berpotensi menjadi temuan hukum.
Klaim Pemkab
Menanggapi tudingan tersebut, Kepala BPKAD Luwu Timur, Ramadhan Pirade, menjelaskan bahwa proses penyewaan telah melalui mekanisme administrasi resmi. Ia menyebut, setelah PT Vale menyerahkan lahan kepada Pemda, dilakukan proses balik nama hingga sertifikasi atas nama pemerintah daerah.
“Setelah tercatat sebagai aset daerah pada 2024, barulah muncul permohonan sewa dari PT IHIP. Penentuan nilai sewanya berdasarkan appraisal resmi, bukan keputusan sepihak,” terang Ramadhan.
Namun, penjelasan itu belum meredam kritik DPRD yang menilai langkah Pemkab tetap tidak memenuhi aspek partisipasi dan transparansi kelembagaan.
Desakan Audit Menyeluruh
Rapat yang berlangsung dalam tensi tinggi itu akhirnya ditutup dengan desakan DPRD agar dilakukan audit dan investigasi menyeluruh terhadap seluruh proses sewa lahan. Audit tersebut diharapkan mencakup aspek legalitas kerja sama, kelayakan nilai sewa, hingga perlindungan hak-hak masyarakat yang telah menggarap lahan tersebut sejak lama.
“Ini soal tata kelola pemerintahan yang bersih dan taat hukum. Jangan sampai investasi dijadikan alasan untuk menabrak prosedur. Pemkab harus terbuka, dan kalau perlu diaudit secara menyeluruh,” tegas Siddiq.
Kasus sewa lahan kompensasi DAM Karebbe ini menyoroti pentingnya koordinasi antara eksekutif dan legislatif dalam pengelolaan aset daerah.
Keterlibatan DPRD diharapkan dapat memastikan setiap kebijakan strategis memiliki legitimasi publik dan tidak merugikan masyarakat.
Audit menyeluruh menjadi langkah krusial untuk memastikan investasi di Luwu Timur berjalan sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.(@mr)
Penulis : Ridwan Jafar Farhum
Editor : Adhitya Eka


















































































































































































































































































































































